Jujur aku nggak tahu mesti mikir apa tentang HUT RI tahun ini. Meski kini Indonesia sudah mencapai usia 78 tahun, kedewasaan nasionalnya masih terasa ketinggalan. Kurang lebih setahun belakangan, aku makin merasa melihat belangnya negeri ini dan entah harus berpikir seperti apa lagi. Dengan makin mendekatnya Pemilu 2024 dan tidak melihat prospek calon pemimpin yang menjanjikan untuk kupilih, harapanku terhadap Indonesia semakin pupus saja rasanya.
Gimana ngga? Akhir-akhir ini pemanasan global sudah memasuki taraf pendidihan global, dengan suhu udara yang mencapai taraf tidak masuk akal di berbagai daerah—termasuk beberapa daerah di Indonesia, bahkan ada tercatat 6 orang Papua yang meninggal dunia akibat suhu udara yang ekstrim. Di Jakarta pun kita merasakannya, dengan polusi udara yang makin meningkat hingga bisa kita rasakan dan lihat. Sayangnya, tidak ada seorang pun calon pemimpin yang menyatakan masalah ekologis sebagai fokus program kerjanya di masa jabatan kelak. Sungguh, negeri yang mengkhawatirkan.
Jujur aku nggak tahu mesti mikir apa tentang HUT RI tahun ini. Meski kini Indonesia sudah mencapai usia 78 tahun, kedewasaan nasionalnya masih terasa ketinggalan. Kurang lebih setahun belakangan, aku makin merasa melihat belangnya negeri ini dan entah harus berpikir seperti apa lagi. Dengan makin mendekatnya Pemilu 2024 dan tidak melihat prospek calon pemimpin yang menjanjikan untuk kupilih, harapanku terhadap Indonesia semakin pupus saja rasanya.
Gimana ngga? Akhir-akhir ini pemanasan global sudah memasuki taraf pendidihan global, dengan suhu udara yang mencapai taraf tidak masuk akal di berbagai daerah—termasuk beberapa daerah di Indonesia, bahkan ada tercatat 6 orang Papua yang meninggal dunia akibat suhu udara yang ekstrim. Di Jakarta pun kita merasakannya, dengan polusi udara yang makin meningkat hingga bisa kita rasakan dan lihat. Sayangnya, tidak ada seorang pun calon pemimpin yang menyatakan masalah ekologis sebagai fokus program kerjanya di masa jabatan kelak. Sungguh, negeri yang mengkhawatirkan.
📷 Fujifilm X-T100 with Fujinon Aspherical Superb EBC XC 15-45mm lens + iPhone 11 12 MP, f/1.8, 26mm
Yth. Pemimpin & Calon Pemimpin
Saran #1: Terapkan Hukum Lingkungan Hidup dengan Tegas
Meskipun sudah banyak sejujurnya Undang-undang yang mengatur hukum terkait lingkungan hidup—seperti pengelolaan sampah (UU No. 18 Tahun 2018)—tapi penerapannya yang tidak tegas malah jadi merugikan warga dan alam. Misalnya soal isu pembakaran sampah yang sudah bertahun-tahun merajalela di berbagai kota, terutama Jakarta. Padahal semua warga tahu ini praktik yang tidak baik, dari baunya yang seperti mencekik ketika terhirup saja, kita tahu bahwa ini sangat berbahaya.
Nyatanya, praktik pembakaran sampah liar—seperti yang masih banyak dilakukan di kampung-kampung—itu dilarang di Pasal 29 Ayat 1 huruf g UU No. 18 Tahun 2018. Namun, karena tidak ada tindakan yang tegas terkait hal ini—maupun penyuluhan yang memadai tentang cara pengelolaan sampah yang tepat—alhasil warga terus menjalankan praktik berbahaya ini. Dan ini baru satu hal kecil saja.
Membuat hukum atau undang-undang saja tidak cukup. Perlu ada komunikasi yang jelas bahwa lingkungan hidup adalah isu yang menjadi prioritas pemerintah. Sebagai negeri kepulauan dengan kekayaan alam yang melimpah, sudah sepatutnya pemerintah Indonesia peduli lingkungan.
Saran #1: Terapkan Hukum Lingkungan Hidup dengan Tegas
Meskipun sudah banyak sejujurnya Undang-undang yang mengatur hukum terkait lingkungan hidup—seperti pengelolaan sampah (UU No. 18 Tahun 2018)—tapi penerapannya yang tidak tegas malah jadi merugikan warga dan alam. Misalnya soal isu pembakaran sampah yang sudah bertahun-tahun merajalela di berbagai kota, terutama Jakarta. Padahal semua warga tahu ini praktik yang tidak baik, dari baunya yang seperti mencekik ketika terhirup saja, kita tahu bahwa ini sangat berbahaya.
Nyatanya, praktik pembakaran sampah liar—seperti yang masih banyak dilakukan di kampung-kampung—itu dilarang di Pasal 29 Ayat 1 huruf g UU No. 18 Tahun 2018. Namun, karena tidak ada tindakan yang tegas terkait hal ini—maupun penyuluhan yang memadai tentang cara pengelolaan sampah yang tepat—alhasil warga terus menjalankan praktik berbahaya ini. Dan ini baru satu hal kecil saja.
Membuat hukum atau undang-undang saja tidak cukup. Perlu ada komunikasi yang jelas bahwa lingkungan hidup adalah isu yang menjadi prioritas pemerintah. Sebagai negeri kepulauan dengan kekayaan alam yang melimpah, sudah sepatutnya pemerintah Indonesia peduli lingkungan.
Saran #2: Alihkan Fokus Tata Kota
dari Kendaraan ke Pejalan Kaki
Saat ini tata kota di Indonesia lebih cenderung mengedepankan akses kendaraan dibanding pejalan kaki. Padahal, mengingat masalah kualitas udara yang makin lama makin memburuk—terutama di ibukota—bukankah seharusnya kita lebih mementingkan warga ketimbang kendaraan? Lucunya lagi, pemerintah berkali-kali menyarankan agar penduduk Indonesia lebih memilih kendaraan umum dibanding pribadi—namun, di saat yang bersamaan, terus melanjutkan pembangunan yang mendukung pemakaian kendaraan pribadi. Kan kocak!
Jika memang pemerintah ingin meningkatkan kualitas hidup warganya dan mendukung pengurangan emisi gas karbon dari jutaan kendaraan yang dikendarai warga per hari, lakukanlah itu melalui program kerja yang tepat. Bangunlah lebih banyak trotoar yang menyeluruh di seantero kota dan negara. Berlakukan sistem transportasi yang benar-benar memadai, bisa diandalkan, praktis dan terintegrasi—lalu sediakan satu wadah yang menyambungkan jadwal masing-masing transportasi untuk memudahkan rakyat merencanakan perjalanan. Cukup dimulai dari niat kok!
Saran #3: Kedepankan Kedaulatan Pangan bagi Warga dan Masyarakat Adat
Berbeda dengan ketahanan pangan, menurut Serikat Petani Indonesia, kedaulatan pangan adalah konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Dengan kata lain, praktik ini menjunjung tinggi diversifikasi makanan yang berakar pada adat dan tradisi lokal—pada dasarnya berbentuk pertanian berbasiskan keluarga.
Sayangnya, saat ini sistem pangan Indonesia masih mengacu pada ketahanan pangan dan sistem pemenuhan gizi yang homogen dan sempit. Padahal, sudah sejak berabad-abad yang lalu ratusan masyarakat adat di Indonesia mempraktikkan kedaulatan pangan di berbagai daerah—makanan yang mereka tanam dan konsumsi bisa sangat beragam tergantung suku, geografi dan budaya mereka. Dan mereka tidak pernah kekurangan pangan. Ada baiknya pemerintah mengenal masyarakat adat tersebut, belajar dari adat dan budaya yang mereka terapkan dan lestarikan berbagai tanaman lokal yang terlupakan, untuk bisa memecahkan masalah ketergantungan pada impor dan meningkatkan kualitas hidup rakyat.
Saran #2: Alihkan Fokus Tata Kota
dari Kendaraan ke Pejalan Kaki
Saat ini tata kota di Indonesia lebih cenderung mengedepankan akses kendaraan dibanding pejalan kaki. Padahal, mengingat masalah kualitas udara yang makin lama makin memburuk—terutama di ibukota—bukankah seharusnya kita lebih mementingkan warga ketimbang kendaraan? Lucunya lagi, pemerintah berkali-kali menyarankan agar penduduk Indonesia lebih memilih kendaraan umum dibanding pribadi—namun, di saat yang bersamaan, terus melanjutkan pembangunan yang mendukung pemakaian kendaraan pribadi. Kan kocak!
Jika memang pemerintah ingin meningkatkan kualitas hidup warganya dan mendukung pengurangan emisi gas karbon dari jutaan kendaraan yang dikendarai warga per hari, lakukanlah itu melalui program kerja yang tepat. Bangunlah lebih banyak trotoar yang menyeluruh di seantero kota dan negara. Berlakukan sistem transportasi yang benar-benar memadai, bisa diandalkan, praktis dan terintegrasi—lalu sediakan satu wadah yang menyambungkan jadwal masing-masing transportasi untuk memudahkan rakyat merencanakan perjalanan. Cukup dimulai dari niat kok!
Saran #3: Kedepankan Kedaulatan Pangan bagi Warga dan Masyarakat Adat
Berbeda dengan ketahanan pangan, menurut Serikat Petani Indonesia, kedaulatan pangan adalah konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Dengan kata lain, praktik ini menjunjung tinggi diversifikasi makanan yang berakar pada adat dan tradisi lokal—pada dasarnya berbentuk pertanian berbasiskan keluarga.
Sayangnya, saat ini sistem pangan Indonesia masih mengacu pada ketahanan pangan dan sistem pemenuhan gizi yang homogen dan sempit. Padahal, sudah sejak berabad-abad yang lalu ratusan masyarakat adat di Indonesia mempraktikkan kedaulatan pangan di berbagai daerah—makanan yang mereka tanam dan konsumsi bisa sangat beragam tergantung suku, geografi dan budaya mereka. Dan mereka tidak pernah kekurangan pangan. Ada baiknya pemerintah mengenal masyarakat adat tersebut, belajar dari adat dan budaya yang mereka terapkan dan lestarikan berbagai tanaman lokal yang terlupakan, untuk bisa memecahkan masalah ketergantungan pada impor dan meningkatkan kualitas hidup rakyat.
Cukup sekian masukan yang kumliki untuk para pemimpin dan calon pemimpin yang akan menjadi nakhoda bagi negeri ini di masa depan. Mungkin pesanku tak akan tersampaikan dengan mudah, tapi kuharap jika ada yang membacanya, kamu pun akan menyampaikan aspirasimu kepada mereka. Begitulah cara kita membangun masa depan yang kita inginkan untuk negeri ini. Kini biarkan aku bercerita tentang hal lain.
Sis’s shirt (borrowed) // old hair bow + sandals // NONA skirt // Roti Eneng tote bag // photos of me by Agung
Cukup sekian masukan yang kumliki untuk para pemimpin dan calon pemimpin yang akan menjadi nakhoda bagi negeri ini di masa depan. Mungkin pesanku tak akan tersampaikan dengan mudah, tapi kuharap jika ada yang membacanya, kamu pun akan menyampaikan aspirasimu kepada mereka. Begitulah cara kita membangun masa depan yang kita inginkan untuk negeri ini. Kini biarkan aku bercerita tentang hal lain.
Sis’s shirt (borrowed) // old hair bow + sandals // NONA skirt // Roti Eneng tote bag // photos of me by Agung
Kembali Melihat Karya Anak Bangsa
Akibatnya, ketika kami tiba di lokasi, sudah terbentuk antrean cukup panjang orang-orang yang ingin mengunjungi pameran juga. Waktu itu sudah kurang lebih pukul 4 sore. Kami berdua langsung malas melihat antrean itu, dan akhirnya memutuskan untuk jajan burger gerobakan di depan museum dan menjelajahi daerah sekitar untuk foto-foto. Kebetulan, galeri ini terletak di Jl. Surabaya, Menteng yang dikelilingi oleh berbagai rumah klasik nan cantik—bahkan ada Kedubes Yunani tidak jauh dari sana yang lebih terlihat seperti rumah orang kaya pada umumnya saja.
Setelah puas berfoto, akhirnya barulah kami memutuskan untuk kembali ke galeri dan ikut mengantre. Untungnya, saat itu antrean tampak sudah cukup mereda. Agung merasa tidak tenang karena cuaca cukup panas dan antrean berjalan dengan perlahan—meski lebih cepat dari dugaanku. Selama kami mengantre, kami lihat beberapa orang yang tidak perlu mengantre bisa langsung masuk ke pameran. Dari pakaiannya saja kelihatan mereka orang berada, dan kami menyimpulkan mereka kenal dengan pemilik galeri.
Akhir pekan dua minggu yang lalu, aku dan Agung berkunjung ke galeri ROH Projects yang pada saat itu sedang menyelenggarakan pameran solo seniman asal Jogja, Eko Nugroho bertajuk Cut the Mountain and Let It Fly. Aku tahu bahwa Agung adalah penggemar berat Eko Nugroho—kita sudah pernah melihat karyanya sebelumnya di Galeri Salihara—jadi begitu aku mendengar bahwa pameran ini sedang berlangsung, aku pun langsung mengajaknya untuk melihatnya. Tidak perlu ditanyakan lagi—Agung girang bukan main.
Ini adalah kali kedua kami mengunjungi ROH Projects. Sebelumnya, kami pergi ke sana pada perempat akhir tahun kemarin untuk menyaksikan pameran PERSONALIA dari Tromarama—lagi-lagi seniman kesukaan Agung, namun kali ini sebuah kolektif. Pada waktu itu, protokol kesehatan pascapandemi masih banyak diberlakukan, jadi kami diwajibkan untuk mendaftarkan diri secara daring sebelum bisa mengunjungi pameran. Namun kali ini peraturan itu tidak lagi diberlakukan.
Akibatnya, ketika kami tiba di lokasi, sudah terbentuk antrean cukup panjang orang-orang yang ingin mengunjungi pameran juga. Waktu itu sudah kurang lebih pukul 4 sore. Kami berdua langsung malas melihat antrean itu, dan akhirnya memutuskan untuk jajan burger gerobakan di depan museum dan menjelajahi daerah sekitar untuk foto-foto. Kebetulan, galeri ini terletak di Jl. Surabaya, Menteng yang dikelilingi oleh berbagai rumah klasik nan cantik—bahkan ada Kedubes Yunani tidak jauh dari sana yang lebih terlihat seperti rumah orang kaya pada umumnya saja.
Setelah puas berfoto, akhirnya barulah kami memutuskan untuk kembali ke galeri dan ikut mengantre. Untungnya, saat itu antrean tampak sudah cukup mereda. Agung merasa tidak tenang karena cuaca cukup panas dan antrean berjalan dengan perlahan—meski lebih cepat dari dugaanku. Selama kami mengantre, kami lihat beberapa orang yang tidak perlu mengantre bisa langsung masuk ke pameran. Dari pakaiannya saja kelihatan mereka orang berada, dan kami menyimpulkan mereka kenal dengan pemilik galeri.
Akhir pekan dua minggu yang lalu, aku dan Agung berkunjung ke galeri ROH Projects yang pada saat itu sedang menyelenggarakan pameran solo seniman asal Jogja, Eko Nugroho bertajuk Cut the Mountain and Let It Fly. Aku tahu bahwa Agung adalah penggemar berat Eko Nugroho—kita sudah pernah melihat karyanya sebelumnya di Galeri Salihara—jadi begitu aku mendengar bahwa pameran ini sedang berlangsung, aku pun langsung mengajaknya untuk melihatnya. Tidak perlu ditanyakan lagi—Agung girang bukan main.
Ini adalah kali kedua kami mengunjungi ROH Projects. Sebelumnya, kami pergi ke sana pada perempat akhir tahun kemarin untuk menyaksikan pameran PERSONALIA dari Tromarama—lagi-lagi seniman kesukaan Agung, namun kali ini sebuah kolektif. Pada waktu itu, protokol kesehatan pascapandemi masih banyak diberlakukan, jadi kami diwajibkan untuk mendaftarkan diri secara daring sebelum bisa mengunjungi pameran. Namun kali ini peraturan itu tidak lagi diberlakukan.
Di dalam pameran, kami dilarang mengambil gambar dengan menggunakan kamera—hanya boleh menggunakan handphone saja. Meskipun begitu, aku dan Agung tetap memotret banyak sekali karya di pameran ini. Aku sengaja tidak menunjukkan semua foto yang kami ambil, karena aku tidak merasa bisa menggambarkan isi pameran itu dengan baik melalui foto-foto kami. Jadi semoga foto-foto yang ada di post ini cukup untuk bisa menggambarkan isi pameran kepada kalian.
Selain itu, kami juga tidak memindai kode QR yang mengarahkan pada katalog pameran, jadi kami tidak tahu judul-judul dari semua karya yang dipamerkan di galeri hari itu. Meskipun begitu, kami sangat mengagumi dan berusaha memahami karya-karya Eko Nugroho yang kami lihat.
Ada dua hal yang paling membuatku kagum pada karya-karya Eko Nugroho di pameran ini. Pertama, aku sangat terkesima dengan seluruh detail yang ada pada karyanya. Eko Nugroho sangat menyukai motif-motif organik yang dipadupadankan dengan wajah manusia yang mencuat di sana sini. Bahkan untuk mural sebesar satu tembok pun—yang mungkin tingginya mencapai 3 meter.
Yang kedua, banyak karyanya yang merupakan sulapan motif bordir yang luar biasa besar. Entah bagaimana cara Beliau untuk bisa menjadikan karya-karyanya terlahir dalam bentuk bordiran, terutama di kain yang sangat lebar dan panjang. Bahkan ada yang setinggi mural terbesarnya, yakni sekitar 3 meter. Menurut Agung, pasti ada vendor yang bisa membuat bordiran tersebut, tapi tetap saja menakjubkan.
Di dalam pameran, kami dilarang mengambil gambar dengan menggunakan kamera—hanya boleh menggunakan handphone saja. Meskipun begitu, aku dan Agung tetap memotret banyak sekali karya di pameran ini. Aku sengaja tidak menunjukkan semua foto yang kami ambil, karena aku tidak merasa bisa menggambarkan isi pameran itu dengan baik melalui foto-foto kami. Jadi semoga foto-foto yang ada di post ini cukup untuk bisa menggambarkan isi pameran kepada kalian.
Selain itu, kami juga tidak memindai kode QR yang mengarahkan pada katalog pameran, jadi kami tidak tahu judul-judul dari semua karya yang dipamerkan di galeri hari itu. Meskipun begitu, kami sangat mengagumi dan berusaha memahami karya-karya Eko Nugroho yang kami lihat.
Ada dua hal yang paling membuatku kagum pada karya-karya Eko Nugroho di pameran ini. Pertama, aku sangat terkesima dengan seluruh detail yang ada pada karyanya. Eko Nugroho sangat menyukai motif-motif organik yang dipadupadankan dengan wajah manusia yang mencuat di sana sini. Bahkan untuk mural sebesar satu tembok pun—yang mungkin tingginya mencapai 3 meter.
Yang kedua, banyak karyanya yang merupakan sulapan motif bordir yang luar biasa besar. Entah bagaimana cara Beliau untuk bisa menjadikan karya-karyanya terlahir dalam bentuk bordiran, terutama di kain yang sangat lebar dan panjang. Bahkan ada yang setinggi mural terbesarnya, yakni sekitar 3 meter. Menurut Agung, pasti ada vendor yang bisa membuat bordiran tersebut, tapi tetap saja menakjubkan.