Akhir-akhir ini aku jadi lebih sering memikirkan tentang skena permusikan lokal, terutama skena musik indie. Sebenarnya sudah lama aku memikirkannya, tapi minimal 2 minggu belakangan aku jadi makin melek dengan dunia ini. Mungkin karena kebetulan aku baru saja memulai kerja di kantor yang isinya mayoritas musisi atau penggiat skena seni visual dan musik yang keren-keren. Akan lulus probation nggak ya aku yang culun dan kurang pergaulan ini?
Sebagai gambaran, atasanku kali ini adalah frontman band Jirapah dan orang yang mejanya berhadapan denganku adalah personil band (duet?) Tender Shoots. Selain itu, pimpinan divisi lain (sebut saja itu ya, biar nggak terlalu spesifik) adalah gitaris band legendaris Seringai, dan timnya terdiri antara lain musisi hits Jakarta Selatan Sade Susanto dan designer spesialis permusikan Hilmi Hilmoi. Ini masih belum termasuk entah musisi yang mana lagi yang belum kuketahui. Apalah aku yang cupu ini?
Akhir-akhir ini aku jadi lebih sering memikirkan tentang skena permusikan lokal, terutama skena musik indie. Sebenarnya sudah lama aku memikirkannya, tapi minimal 2 minggu belakangan aku jadi makin melek dengan dunia ini. Mungkin karena kebetulan aku baru saja memulai kerja di kantor yang isinya mayoritas musisi atau penggiat skena seni visual dan musik yang keren-keren. Akan lulus probation nggak ya aku yang culun dan kurang pergaulan ini?
Sebagai gambaran, atasanku kali ini adalah frontman band Jirapah dan orang yang mejanya berhadapan denganku adalah personil band (duet?) Tender Shoots. Selain itu, pimpinan divisi lain (sebut saja itu ya, biar nggak terlalu spesifik) adalah gitaris band legendaris Seringai, dan timnya terdiri antara lain musisi hits Jakarta Selatan Sade Susanto dan designer spesialis permusikan Hilmi Hilmoi. Ini masih belum termasuk entah musisi yang mana lagi yang belum kuketahui. Apalah aku yang cupu ini?
📷 Fujifilm X-T100 with Fujinon Aspherical Superb EBC XC 15-45mm lens + ASUS ZenFone 10 50 MP f/1.9, 23.8 mm
Putar Balik Rekaman
Dari dulu pengetahuanku soal industri musik lokal memang sangat rendah. Waktu SMP dan SMA, jaman teman-teman sepantaranku lagi pada hangat-hangatnya dengerin band-band pensi, aku malah sama sekali tidak tertarik. Lalu selepas SMA aku pun terbang ke Jerman dan menetap di sana selama 3 tahun, jadi makin nggak update dengan skena musik Indonesia—terutama yang indie. Saat itu kiblatku lebih mengarah pada musisi-musisi indie di barat, khususnya UK dan Amerika Utara. Barulah mulai tahun 2019, melalui Agung dan beberapa teman-temanku, aku jadi mulai mengenal jejeran band-band lokal menarik yang tidak pernah disiarkan di TV. Skena musik yang selama ini kudambakan ternyata juga ada di Indonesia.
Sebelum aku pergi ke Jerman, satu-satunya band indie yang kukenal (dan sangat melekat di hati) adalah The Trees & the Wild, yang kini sudah berganti nuansa musik dan personil. Lalu berkat Agung dan teman-temanku aku jadi tahu musisi-musisi lokal lainnya seperti The Adams, Dried Cassava, Bedchamber, Santamonica, Sore, The S.I.G.I.T., Hindia dan BAP. Lalu di tahun 2023 aku dan Agung menjajal Joyland Bali dan Jakarta, sampai aku jadi ‘berkenalan’ juga dengan nama-nama baru seperti ALI, Barasuara, Rub of Rub dan Rock N Roll Mafia. Ternyata sebegitu luasnya skena musik di Indonesia. Aku jadi takjub sendiri.
Hand-me-down top + socks // Book of Deer skirt (ca. 2016) // Roti Eneng tote bag (ca. 2020) // old shoes + watch // photos of me by Agung
Dari dulu pengetahuanku soal industri musik lokal memang sangat rendah. Waktu SMP dan SMA, jaman teman-teman sepantaranku lagi pada hangat-hangatnya dengerin band-band pensi, aku malah sama sekali tidak tertarik. Lalu selepas SMA aku pun terbang ke Jerman dan menetap di sana selama 3 tahun, jadi makin nggak update dengan skena musik Indonesia—terutama yang indie. Saat itu kiblatku lebih mengarah pada musisi-musisi indie di barat, khususnya UK dan Amerika Utara. Barulah mulai tahun 2019, melalui Agung dan beberapa teman-temanku, aku jadi mulai mengenal jejeran band-band lokal menarik yang tidak pernah disiarkan di TV. Skena musik yang selama ini kudambakan ternyata juga ada di Indonesia.
Sebelum aku pergi ke Jerman, satu-satunya band indie yang kukenal (dan sangat melekat di hati) adalah The Trees & the Wild, yang kini sudah berganti nuansa musik dan personil. Lalu berkat Agung dan teman-temanku aku jadi tahu musisi-musisi lokal lainnya seperti The Adams, Dried Cassava, Bedchamber, Santamonica, Sore, The S.I.G.I.T., Hindia dan BAP. Lalu di tahun 2023 aku dan Agung menjajal Joyland Bali dan Jakarta, sampai aku jadi ‘berkenalan’ juga dengan nama-nama baru seperti ALI, Barasuara, Rub of Rub dan Rock N Roll Mafia. Ternyata sebegitu luasnya skena musik di Indonesia. Aku jadi takjub sendiri.
Hand-me-down top + socks // Book of Deer skirt (ca. 2016) // Roti Eneng tote bag (ca. 2020) // old shoes + watch // photos of me by Agung
Wawasan permusikan Indonesiaku pun makin meluas ketika hidup pribadiku dan Agung mulai bersinggungan dengan industri tersebut. Aku cukup takjub ketika mengetahui bahwa adik kelasku di SMP, Nugi, kini sudah menjadi bassist band hits Reality Club. Teman kuliah Agung (yang juga pernah kutemui) juga ternyata adalah bassist—dari band indie Bogor, Swellow. Rasanya masih sulit dipercaya bahwa orang-orang yang dekat dengan kami merupakan bagian dari skena musik yang kami kagumi.
Selain itu, aku pun jadi tahu bahwa banyak pelaku kreatif yang ternyata lintas disipilin, khususnya antara seni visual dan musik. Bukti terbesar kini sudah kulihat sendiri dengan berbagai macam orang yang ada di kantorku. Salah satu contoh lainnya adalah Ardneks (dan istrinya Phantasien) yang kukenal sebagai ilustrator kondang tanah air ternyata adalah bagian dari band psychedelic rock Crayola Eyes. Saat kami bertemu di Artket beberapa bulan silam, ia menceritakan tentang gitarisnya yang berniat pindah ke Kamboja.
Wawasan permusikan Indonesiaku pun makin meluas ketika hidup pribadiku dan Agung mulai bersinggungan dengan industri tersebut. Aku cukup takjub ketika mengetahui bahwa adik kelasku di SMP, Nugi, kini sudah menjadi bassist band hits Reality Club. Teman kuliah Agung (yang juga pernah kutemui) juga ternyata adalah bassist—dari band indie Bogor, Swellow. Rasanya masih sulit dipercaya bahwa orang-orang yang dekat dengan kami merupakan bagian dari skena musik yang kami kagumi.
Selain itu, aku pun jadi tahu bahwa banyak pelaku kreatif yang ternyata lintas disipilin, khususnya antara seni visual dan musik. Bukti terbesar kini sudah kulihat sendiri dengan berbagai macam orang yang ada di kantorku. Salah satu contoh lainnya adalah Ardneks (dan istrinya Phantasien) yang kukenal sebagai ilustrator kondang tanah air ternyata adalah bagian dari band psychedelic rock Crayola Eyes. Saat kami bertemu di Artket beberapa bulan silam, ia menceritakan tentang gitarisnya yang berniat pindah ke Kamboja.
Distrik Musik & Seni
Bertepatan dengan minggu pertamaku bekerja di kantor yang dipenuhi oleh musisi indie, minggu lalu aku dan Agung datang ke acara Cipete Creative District yang menghadirkan belasan musisi indie di beberapa venue di Cipete. Pada dasarnya, venue musiknya dibagi menjadi 2, yakni Urban Forest untuk musisi-musisi yang lebih dikenal massa dan Stuja Coffee untuk band-band yang lebih niche. Acaranya gratis tis tis, kami cuma perlu mendaftar di website dan menunjukkan tiket kami begitu tiba di venue. Ini memberikan kami kesempatan untuk sekalian jalan kaki sepanjang Jalan Cipete.
Meskipun acaranya sendiri terdiri dari berbagai macam kegiatan, ketertarikan kami utamanya terletak pada performa musik yang tersedia, khususnya Crayola Eyes, Perunggu dan Namoy Budaya. Sayangnya, Crayola Eyes dan Perunggu tampil pada waktu yang saling tumpang tindih di venue yang cukup berjauhan. Akhirnya kami berhasil menonton setengah pertunjukan Graf, lalu makan malam sebentar di Bansan dan kembali ke Stuja untuk menonton 3 lagu dari Crayola Eyes. Sayangnya, saat kami tiba di Urban Forest untuk menonton Perunggu, area konser sudah terlalu penuh sesak hingga kami tidak bisa melihat panggungnya. Akhirnya kami pun memutuskan untuk duduk-duduk di area Prambors dan menonton live karaoke session di booth mereka. Itulah akhir dari malam kami hari itu.
Bertepatan dengan minggu pertamaku bekerja di kantor yang dipenuhi oleh musisi indie, minggu lalu aku dan Agung datang ke acara Cipete Creative District yang menghadirkan belasan musisi indie di beberapa venue di Cipete. Pada dasarnya, venue musiknya dibagi menjadi 2, yakni Urban Forest untuk musisi-musisi yang lebih dikenal massa dan Stuja Coffee untuk band-band yang lebih niche. Acaranya gratis tis tis, kami cuma perlu mendaftar di website dan menunjukkan tiket kami begitu tiba di venue. Ini memberikan kami kesempatan untuk sekalian jalan kaki sepanjang Jalan Cipete.
Meskipun acaranya sendiri terdiri dari berbagai macam kegiatan, ketertarikan kami utamanya terletak pada performa musik yang tersedia, khususnya Crayola Eyes, Perunggu dan Namoy Budaya. Sayangnya, Crayola Eyes dan Perunggu tampil pada waktu yang saling tumpang tindih di venue yang cukup berjauhan. Akhirnya kami berhasil menonton setengah pertunjukan Graf, lalu makan malam sebentar di Bansan dan kembali ke Stuja untuk menonton 3 lagu dari Crayola Eyes. Sayangnya, saat kami tiba di Urban Forest untuk menonton Perunggu, area konser sudah terlalu penuh sesak hingga kami tidak bisa melihat panggungnya. Akhirnya kami pun memutuskan untuk duduk-duduk di area Prambors dan menonton live karaoke session di booth mereka. Itulah akhir dari malam kami hari itu.
Kadang aku berangan-angan ingin menjadi orang yang lebih bisa mengapresiasi musik layaknya kebanyakan orang dalam hidupku—seperti Agung, misalnya. Dan kini, dengan semakin banyak penggiat musik di sekitarku yang tentu jelas lebih memahami dan memperhatikan musik, aku jadi semakin sadar akan apatismeku terhadap musik secara umum—bukan hanya skenanya. Ketika aku mendengarkan musik, hal yang paling kuperhatikan adalah liriknya. Lagu-lagu yang paling awet hidup di hatiku adalah yang penulisan liriknya menarik atau sesuai dengan perasaan yang pernah kualami. Mungkin aku tidak akan pernah ingat lantunan gitar ataupun tabuhan drum di saat-saat tertentu, tapi aku akan selalu mengingat rasa yang ingin disampaikan.
Pesan-pesan dari rakyat Indonesia yang ingin didengar, baik itu berupa cerminan penglaman pribadi maupun jeritan hati untuk memperbaiki negeri—semoga irama dan ketukan ini terus menggema hingga ke dekade-dekade selanjutnya, hingga sampai ke hati orang-orang yang dituju. Dirgahayu skena musik Indonesia! Dirgahayu suara hati rakyat!
P.S: Siapa musisi Indonesia yang paling kalian sukai?
Rekomendasikan padaku dong!
Kadang aku berangan-angan ingin menjadi orang yang lebih bisa mengapresiasi musik layaknya kebanyakan orang dalam hidupku—seperti Agung, misalnya. Dan kini, dengan semakin banyak penggiat musik di sekitarku yang tentu jelas lebih memahami dan memperhatikan musik, aku jadi semakin sadar akan apatismeku terhadap musik secara umum—bukan hanya skenanya. Ketika aku mendengarkan musik, hal yang paling kuperhatikan adalah liriknya. Lagu-lagu yang paling awet hidup di hatiku adalah yang penulisan liriknya menarik atau sesuai dengan perasaan yang pernah kualami. Mungkin aku tidak akan pernah ingat lantunan gitar ataupun tabuhan drum di saat-saat tertentu, tapi aku akan selalu mengingat rasa yang ingin disampaikan.
Pesan-pesan dari rakyat Indonesia yang ingin didengar, baik itu berupa cerminan penglaman pribadi maupun jeritan hati untuk memperbaiki negeri—semoga irama dan ketukan ini terus menggema hingga ke dekade-dekade selanjutnya, hingga sampai ke hati orang-orang yang dituju. Dirgahayu skena musik Indonesia! Dirgahayu suara hati rakyat!