Wah, ngga berasa ya udah ulang tahun Indonesia lagi aja! Selamat Hari Kemerdekaan ke-77, tanah airku! Tahun ini rasanya sudah lebih normal dibanding 2 tahun belakangan ya. Bahkan tema kemerdekaan tahun ini pun Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat. Kalian udah liat belum logo HUT RI ke-77 ini? Yang buat tuh Studio Woork lho! Kebetulan tahun ini aku sudah kenal cukup banyak orang di industri kreatif nasional untuk bisa tahu orang-orang dibalik beberapa karya kreatif ikonis Nusantara. Nah, pendiri Studio Woork ini kebetulan adalah teman beberapa teman kantorku dan salah satunya bahkan pernah bekerja di studio tersebut, jadinya ikut bangga atas prestasi mereka ini.
Selain dari segi desain, beberapa aspek lain industri kreatif Indonesia juga membuatku senang dan bangga. Pertama, ada aspek perfilman Nusantara yang kini sudah semakin marak dengan berkembangnya streaming service lokal kini. Sejujurnya, aku belum banyak menonton karya banyak filmmaker lokal, tapi kudengar Suka Duka Berduka sangat menarik. Ini kebetulan adalah karya Mas Aga yang kukenal melalui Instagram. Yang kedua, ada aspek seni rupa yang ditandai kemajuannya dengan makin maraknya pameran kesenian di berbagai kota di Indonesia—terutama di Jakarta. Salah satunya adalah pameran MANIFESTO VIII: Transposisi di Galeri Nasional. Ini adalah cerita Agung dan aku mengunjungi pameran tersebut.
Wah, ngga berasa ya udah ulang tahun Indonesia lagi aja! Selamat Hari Kemerdekaan ke-77, tanah airku! Tahun ini rasanya sudah lebih normal dibanding 2 tahun belakangan ya. Bahkan tema kemerdekaan tahun ini pun Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat. Kalian udah liat belum logo HUT RI ke-77 ini? Yang buat tuh Studio Woork lho! Kebetulan tahun ini aku sudah kenal cukup banyak orang di industri kreatif nasional untuk bisa tahu orang-orang dibalik beberapa karya kreatif ikonis Nusantara. Nah, pendiri Studio Woork ini kebetulan adalah teman beberapa teman kantorku dan salah satunya bahkan pernah bekerja di studio tersebut, jadinya ikut bangga atas prestasi mereka ini.
Selain dari segi desain, beberapa aspek lain industri kreatif Indonesia juga membuatku senang dan bangga. Pertama, ada aspek perfilman Nusantara yang kini sudah semakin marak dengan berkembangnya streaming service lokal kini. Sejujurnya, aku belum banyak menonton karya banyak filmmaker lokal, tapi kudengar Suka Duka Berduka sangat menarik. Ini kebetulan adalah karya Mas Aga yang kukenal melalui Instagram. Yang kedua, ada aspek seni rupa yang ditandai kemajuannya dengan makin maraknya pameran kesenian di berbagai kota di Indonesia—terutama di Jakarta. Salah satunya adalah pameran MANIFESTO VIII: Transposisi di Galeri Nasional. Ini adalah cerita Agung dan aku mengunjungi pameran tersebut.
Reaksi Terhadap Non-Reaksi
Mungkin sedikit latar belakang dulu: MANIFESTO adalah pameran berkala yang diselenggarakan oleh Galeri Nasional setiap 2 tahun sekali. Menampilkan 108 karya oleh 108 peserta yang dikurasi oleh tim kurator, pameran MANIFESTO kali ini menonjolkan kemajuan praktik seni rupa kontemporer yang dihubungkan dengan gaya hidup masyarakat saat ini—yang mana tentu sangat terpengaruh oleh pandemi yang melanda kita 2 tahun belakangan.
Tidak heran jika banyak karya yang menjadi bentuk respon terhadap (nihilnya) tindakan dari pihak berwenang untuk membantu masyarakat dalam memerangi ketidakpastian keadaan. Bentuknya pun beragam dan mayoritas dikemas dalam bentuk visual—dan audio—yang unik, sehingga berhasil menarik perhatian dan simpati kita sebagai pengunjung.
Gabungan kreasi menarik dari para seniman dan pemikiran struktur pameran oleh para kurator membuat MANIFESTO ini jadi semakin impactful. Banyak karya yang membuatku dan Agung cukup terkesima, baik dari material yang dipakai, hingga konsep dan eksekusinya yang ngga terbayangkan. Banyak karya yang menggabungkan konsep visual dan teknologi mutakhir—bahkan ada VR juga lho! Paling menarik sih itu sebenarnya.
Tapi bahkan yang menggunakan material yang umum pun menarik perhatian dengan konsep, makna dan eksekusinya yang ngga biasa—beberapa di antaranya bahkan bisa menyentil dengan akurat. Salah satu karya favoritku adalah lukisan 9 botol miras berisi tanaman yang tulisannya merupakan sindiran bagi pemerintah dalam menghadapi pandemi.
Mungkin sedikit latar belakang dulu: MANIFESTO adalah pameran berkala yang diselenggarakan oleh Galeri Nasional setiap 2 tahun sekali. Menampilkan 108 karya oleh 108 peserta yang dikurasi oleh tim kurator, pameran MANIFESTO kali ini menonjolkan kemajuan praktik seni rupa kontemporer yang dihubungkan dengan gaya hidup masyarakat saat ini—yang mana tentu sangat terpengaruh oleh pandemi yang melanda kita 2 tahun belakangan.
Tidak heran jika banyak karya yang menjadi bentuk respon terhadap (nihilnya) tindakan dari pihak berwenang untuk membantu masyarakat dalam memerangi ketidakpastian keadaan. Bentuknya pun beragam dan mayoritas dikemas dalam bentuk visual—dan audio—yang unik, sehingga berhasil menarik perhatian dan simpati kita sebagai pengunjung.
Gabungan kreasi menarik dari para seniman dan pemikiran struktur pameran oleh para kurator membuat MANIFESTO ini jadi semakin impactful. Banyak karya yang membuatku dan Agung cukup terkesima, baik dari material yang dipakai, hingga konsep dan eksekusinya yang ngga terbayangkan. Banyak karya yang menggabungkan konsep visual dan teknologi mutakhir—bahkan ada VR juga lho! Paling menarik sih itu sebenarnya.
Tapi bahkan yang menggunakan material yang umum pun menarik perhatian dengan konsep, makna dan eksekusinya yang ngga biasa—beberapa di antaranya bahkan bisa menyentil dengan akurat. Salah satu karya favoritku adalah lukisan 9 botol miras berisi tanaman yang tulisannya merupakan sindiran bagi pemerintah dalam menghadapi pandemi.
Memang kebanyakan dari karya yang dipamerkan cenderung merespon keadaan Indonesia selama pandemi, baik dalam bentuk apresiasi terhadap tenaga kesehatan maupun kritik terhadap tindakan pemerintah dalam menyikapi situasi. Ketidakpuasan kita sebagai bangsa Indonesia yang rasanya seperti dipermainkan oleh zaman dan pihak berwenang selama dua tahun belakangan tertumpahkan begitu saja di atas kanvas dan media-media lainnya. Rasanya seperti baru terbangun dari sebuah mimpi buruk yang ternyata bukan mimpi sama sekali, dan baru sekarang memiliki cukup kekuatan untuk bisa menyuarakan amarah kita.
Sebagai mantan murid Sejarah Seni, aku tahu betul inilah gunanya kesenian dari masa ke masa. Demi menangkap zeitgeist dan menyenggol mereka yang berwenang agar melakukan refleksi untuk memperbaiki diri dan regulasi ke depannya. Bahagia rasanya melihat hasil karya para seniman muda Nusantara ini yang berhasil mengemas orasi-orasi dengan jenaka dan mudah dicerna oleh khalayak umum. Inilah pentingnya industri kreatif. Inilah pentingnya mendukung rakyat untuk terus berkreasi.
Memang kebanyakan dari karya yang dipamerkan cenderung merespon keadaan Indonesia selama pandemi, baik dalam bentuk apresiasi terhadap tenaga kesehatan maupun kritik terhadap tindakan pemerintah dalam menyikapi situasi. Ketidakpuasan kita sebagai bangsa Indonesia yang rasanya seperti dipermainkan oleh zaman dan pihak berwenang selama dua tahun belakangan tertumpahkan begitu saja di atas kanvas dan media-media lainnya. Rasanya seperti baru terbangun dari sebuah mimpi buruk yang ternyata bukan mimpi sama sekali, dan baru sekarang memiliki cukup kekuatan untuk bisa menyuarakan amarah kita.
Sebagai mantan murid Sejarah Seni, aku tahu betul inilah gunanya kesenian dari masa ke masa. Demi menangkap zeitgeist dan menyenggol mereka yang berwenang agar melakukan refleksi untuk memperbaiki diri dan regulasi ke depannya. Bahagia rasanya melihat hasil karya para seniman muda Nusantara ini yang berhasil mengemas orasi-orasi dengan jenaka dan mudah dicerna oleh khalayak umum. Inilah pentingnya industri kreatif. Inilah pentingnya mendukung rakyat untuk terus berkreasi.
Industri Nol Besar
Buat kita-kita yang cukup akrab dengan dunia maya, mungkin berita sepak terjang Kemenkominfo baru-baru ini yang cukup mengundang geram dan geleng-geleng kepala sudah tidak asing lagi. Setelah serangkaian aksi yang mereka lakukan untuk membatasi ruang gerak generasi muda untuk mendapatkan informasi dan mengekspresikan ide-idenya, apa yang baru saja terjadi baru-baru ini bukanlah hal yang mengagetkan. Kalau istilah bulenya mungkin, “Not surprised, just disappointed.“
Sungguh lucu dan ironis bagaimana kata-kata dan tindakan pemerintah sering tidak selaras. Katanya mau mendukung perkembangan industri 4.0 yang menitikberatkan pada perkembangan teknologi dan kreativitas, tapi bukan hanya jalan menuju penelitian dipersulit dengan dalih “penghematan,” namun juga berbagai situs sarana berkarya diblokir akibat gagalnya instansi pemerintahan mengemis respek kepada mereka demi mengekang rakyatnya sendiri.
Buat kita-kita yang cukup akrab dengan dunia maya, mungkin berita sepak terjang Kemenkominfo baru-baru ini yang cukup mengundang geram dan geleng-geleng kepala sudah tidak asing lagi. Setelah serangkaian aksi yang mereka lakukan untuk membatasi ruang gerak generasi muda untuk mendapatkan informasi dan mengekspresikan ide-idenya, apa yang baru saja terjadi baru-baru ini bukanlah hal yang mengagetkan. Kalau istilah bulenya mungkin, “Not surprised, just disappointed.“
Sungguh lucu dan ironis bagaimana kata-kata dan tindakan pemerintah sering tidak selaras. Katanya mau mendukung perkembangan industri 4.0 yang menitikberatkan pada perkembangan teknologi dan kreativitas, tapi bukan hanya jalan menuju penelitian dipersulit dengan dalih “penghematan,” namun juga berbagai situs sarana berkarya diblokir akibat gagalnya instansi pemerintahan mengemis respek kepada mereka demi mengekang rakyatnya sendiri.
Semakin hari aku semakin khawatir dengan nasib negeri ini. Kemajuan yang kita rasakan satu dekade belakangan nampak seperti pemanis saja untuk menjebak kita ke lubang buaya ini, dimana kita akan selalu diawasi, ditekan untuk tunduk buta dan diancam jika memberikan kritik semacam apapun. Lalu apa bedanya masa sekarang dengan zaman Orde Baru? Apa bedanya Indonesia dengan negara-negara komunis yang ditolak dengan amat sangat oleh pemerintah dari dulu? Mereka yang paling lantang menolak justru secara tidak langsung mempraktekkannya.
Lalu apa gunanya industri 4.0 jika dibatasi? Buat apa mengikuti perkembangan teknologi, jika orang-orang yang paling membutuhkan tetap terabaikan? Jangankan membeli smartphone demi bisa mengikuti mandat pemerintah untuk mengubah Indonesia menjadi negara tanpa tunai, sinyal ponsel saja tidak sampai ke mayoritas daerah di Nusantara. Ironis pula ketika daerah-daerah paling subur di negeri ini justru dihuni oleh orang-orang paling kekurangan gizi, karena mereka dicekoki makanan yang datangnya hanya dari satu daerah saja—membuat mereka meninggalkan makanan adat mereka yang melimpah di kampung.
Bagaimana kalau yang dibutuhkan masyarakat Indonesia bukan industri 4.0? Bukan pula perkembangan teknologi yang muluk-muluk. Bagaimana kalau yang mereka butuhkan sesederhana perubahan pola pikir dari pihak-pihak berwenang? Pola berpikir yang—tanpa mereka sadari—masih terbayang-bayang zaman kolonial dulu. Bisakah kita mulai dari sana?
Hand-me-down top + jacket // Swapped pants // Dr. Martens boots // photos of me by Agung
Semakin hari aku semakin khawatir dengan nasib negeri ini. Kemajuan yang kita rasakan satu dekade belakangan nampak seperti pemanis saja untuk menjebak kita ke lubang buaya ini, dimana kita akan selalu diawasi, ditekan untuk tunduk buta dan diancam jika memberikan kritik semacam apapun. Lalu apa bedanya masa sekarang dengan zaman Orde Baru? Apa bedanya Indonesia dengan negara-negara komunis yang ditolak dengan amat sangat oleh pemerintah dari dulu? Mereka yang paling lantang menolak justru secara tidak langsung mempraktekkannya.
Lalu apa gunanya industri 4.0 jika dibatasi? Buat apa mengikuti perkembangan teknologi, jika orang-orang yang paling membutuhkan tetap terabaikan? Jangankan membeli smartphone demi bisa mengikuti mandat pemerintah untuk mengubah Indonesia menjadi negara tanpa tunai, sinyal ponsel saja tidak sampai ke mayoritas daerah di Nusantara. Ironis pula ketika daerah-daerah paling subur di negeri ini justru dihuni oleh orang-orang paling kekurangan gizi, karena mereka dicekoki makanan yang datangnya hanya dari satu daerah saja—membuat mereka meninggalkan makanan adat mereka yang melimpah di kampung.
Bagaimana kalau yang dibutuhkan masyarakat Indonesia bukan industri 4.0? Bukan pula perkembangan teknologi yang muluk-muluk. Bagaimana kalau yang mereka butuhkan sesederhana perubahan pola pikir dari pihak-pihak berwenang? Pola berpikir yang—tanpa mereka sadari—masih terbayang-bayang zaman kolonial dulu. Bisakah kita mulai dari sana?
Hand-me-down top + jacket // Swapped pants // Dr. Martens boots // photos of me by Agung
Merah Bertemu Putih
Waw, jujur aku belum pernah menulis artikel OOTD kemerdekaan sampai sepanjang ini sebelumnya! Memang sih aku ingin memberikan gambaran pameran yang kudatangi di atas. Tapi selain itu aku jujur agak bingung mau berkata-kata. Alhasil, jadi berorasi deh di atas—tolong abaikan aja kalau memang terlalu serius dan kurang cocok untuk blog ini.
Yuk, sekarang kita bergeser membicarakan pakaian yang aku pakai. Tentu saja, seperti tahun-tahun sebelumnya, wajib aku memakai tema warna merah putih bendera kita. Semua yang kupakai di artikel ini adalah baju-baju yang sudah ada cukup lama di lemariku—mungkin kamu sudah pernah melihatnya secara terpisah sebelumnya.
Outfit ini dimulai dari celana, yang sebetulnya sangat aku suka tapi sayangnya sudah terlalu sempit untuk kupakai. Padahal aku suka banget sama celana-celana model ini yang memberi kesan edgy ke outfit manapun—warnanya yang merah juga langsung stand out.
Waw, jujur aku belum pernah menulis artikel OOTD kemerdekaan sampai sepanjang ini sebelumnya! Memang sih aku ingin memberikan gambaran pameran yang kudatangi di atas. Tapi selain itu aku jujur agak bingung mau berkata-kata. Alhasil, jadi berorasi deh di atas—tolong abaikan aja kalau memang terlalu serius dan kurang cocok untuk blog ini.
Yuk, sekarang kita bergeser membicarakan pakaian yang aku pakai. Tentu saja, seperti tahun-tahun sebelumnya, wajib aku memakai tema warna merah putih bendera kita. Semua yang kupakai di artikel ini adalah baju-baju yang sudah ada cukup lama di lemariku—mungkin kamu sudah pernah melihatnya secara terpisah sebelumnya.
Outfit ini dimulai dari celana, yang sebetulnya sangat aku suka tapi sayangnya sudah terlalu sempit untuk kupakai. Padahal aku suka banget sama celana-celana model ini yang memberi kesan edgy ke outfit manapun—warnanya yang merah juga langsung stand out.
Masih dalam spirit kemerdekaan, aku ingin mengakhiri artikel ini dengan beberapa rekomendasi buku yang bisa kalian baca untuk mengenal tanah air kita lebih dalam. Pertama kita mulai dari buku dulu ya! Sejujurnya aku sedikit patah hati karena buku-buku yang memberikan pencerahan tentang Indonesia mayoritas ditulis oleh penulis luar. Aku sangat merekomendasikan kalian membaca A Nation in Waiting karya Adam Schwarz dan Indonesia Etc. karya Elizabeth Pisani. Buku yang pertama menguak kenyataan kondisi di Indonesia pada zaman Soeharto, sementara buku yang kedua menguak bahwa Bhinneka Tunggal Ika itu mungkin hanya ilusi belaka.
Ada juga buku tentang Indonesia karya penulis lokal yang ingin kurekomendasikan, yakni Seri Pangan Nusantara. Ini adalah tiga buku (sejauh ini) yang menjelajahi pangan-pangan lokal daerah yang sudah mayoritas ditinggalkan oleh penduduk sekitar. Buku ini sungguh membuka mata, bahwa nasi itu sesungguhnya bukan makanan nasional Indonesia!
Pameran MANIFESTO VIII: Transposisi masih dibuka hingga tanggal 26 Agustus 2022!
Jangan sampai ketinggalan ya!
Masih dalam spirit kemerdekaan, aku ingin mengakhiri artikel ini dengan beberapa rekomendasi buku yang bisa kalian baca untuk mengenal tanah air kita lebih dalam. Pertama kita mulai dari buku dulu ya! Sejujurnya aku sedikit patah hati karena buku-buku yang memberikan pencerahan tentang Indonesia mayoritas ditulis oleh penulis luar. Aku sangat merekomendasikan kalian membaca A Nation in Waiting karya Adam Schwarz dan Indonesia Etc. karya Elizabeth Pisani. Buku yang pertama menguak kenyataan kondisi di Indonesia pada zaman Soeharto, sementara buku yang kedua menguak bahwa Bhinneka Tunggal Ika itu mungkin hanya ilusi belaka.
Ada juga buku tentang Indonesia karya penulis lokal yang ingin kurekomendasikan, yakni Seri Pangan Nusantara. Ini adalah tiga buku (sejauh ini) yang menjelajahi pangan-pangan lokal daerah yang sudah mayoritas ditinggalkan oleh penduduk sekitar. Buku ini sungguh membuka mata, bahwa nasi itu sesungguhnya bukan makanan nasional Indonesia!